Filsafat
Keseimbangan
(Refleksi
Metafisika Keberadaan Tuhan)
Khidir, nama
seorang nabi yang Tuhan pilih untuk menjadi guru yang mengajarkan ilmu pada
Musa dari sisi yang berbeda ( ilmu laaduni, pen). Dia pernah berujar
ketika dia melihat seekor burung yang minum setitik air dari lautan kemudian
dari paruhnya meneteskan sisa-sisa air yang dia minum kemudian jatuh ke bumi, “ilmuku
ibarat air yang jatuh itu bila dibandingkan dengan ilmu Tuhanku yang mahaluas
seluas lautan ini”. Padahal dia telah mengajarkan perihal yang tidak
mungkin manusia pada umumnya dapat ajarkan pada yang lain, yaitu masa depan.
Namun dia mengatakan bahwa ilmunya sangat kecil bila di bandingkan dengan
pengetahuan yang dimiliki Tuhan.
Terdapat
sebuah kekuatan yang Mahadahsyat di luar kemampuan manusia. Manusia bodoh
bukanlah dia yang tidak mengerti terhadap sebuah persoalan, namun yang bodoh
adalah dia yang merasa dirinya memiliki ilmu padahal ada yang lebih berilmu.
Terdapat sebuah keyakinan bagi penulis pribadi terhadap kekuatan di luar sana
yang Mahadahsyat. Apapun namanya, entah itu Alloh, Budha, Yahweh, al-Masih atau
lain sebagainya. Jelas bahwa Dia memiliki kekuatan yang sunguh luar biasa. Dan
penulis nyaman dengan sebutan Tuhan.
Kita beralih pada
keseimbangan yang ingin penulis uraikan dan tidak terlepas dari hal metafisik seperti
yang telah di uraikan sbelumnya. Keseimbangan sangat di butuhkan untuk
menjalani kehidupan. Bagaimana tidak, seorang anak tidak akan mampu belajar
tanpa keseimbangan. Dia harus menyeimbangkan pendengarannya terhadap seorang
guru yang sedang menerangkan pelajaran, penglihatan dan juga fikiranya
yang hendak menangkap penjelasan sang guru tersebut. Belum lagi diapun harus
mencatat apa yang telah dia dapatkan sebelum fikirannya melupakan pelajaran
itu. Begitupun dengan fikiran dan tindakan kita.
Dahulu ketika
para filsuf awal lahir di bumi Yunani telah terjadi pertentangan hebat antara
dunia ide dan empiris. Bahwa segala yang nyata itu hanya dalam ide atau justru
yang real dan terindra? Kemudian para tokoh filsuf setelahnya banyak memberikan
komentar-komentar dan pemikirannya masing-masing. Ada pula yang berusaha untuk
mengambil jalan tengah dengan menggunakan kedua metode tersebut. Terjadilah
sebuah tesis kemundian timbul antithesis terhadap tesis yang ada akhirnya
muncul sebuah sintesa yang berujung menjadi tesis bagi antithesis yang akan
muncul kemudian, dan begitulah seterusnya.
Dari sebuah
polemic yang terjadi harus selalu di garis bawahi bagi mereka yang selalu
mengambil jalan bijak untuk dua term yang berbeda. Karena dia telah berusaha
menyeimbngkan yang ada. Berajak pada metafisik.
Tuhan, kita
tidak mungkin mengetahui Tuhan hanya dengan keimanan kita, namun butuh
pemikiran yang mendalam untuk memahaminya. Dia yang mengaku beriman dan
menjalankan perintah-perintah agama hanya dengan keimananya saja tidak lain dan
tidak bukan hanyalah menjalankan kehidupannya secara pincang. Bagaimanapun
orang pincang berlari tidak akan secepat pelari sempurna fisiknya. Bahkan
mungkin dia akan terjatuh di tengah pelariannya dan terluka, atau mungkin lebih
tragisnya, Mati.
Rasio atau
kita kenal dengan akalpun tidak akan mencapai kesempurnaan dalam memahami Tuhan
karena jelas sekali bahwa Tuhan adalah sebuah “kekuatn” yang abstrak dan
metafisik. Indra tidak sanggup untuk mencapainya, atau mungkin belum untuk saat
ini. Bahkan Tuhan-tuhan yang berwujudpun sebenarnya adalah hal yang metafisik
seperti halnya pepohonan atau arca-arca dan artefak yang telah menjadi pujaan.
Dalam memahami
Tuhan secara utuh harus menggunakan akal dan hati agar dapat mencapai anak
tangga yang lebih tinggi untuk berpijak dan melangkah lebih jauh tentangnya. Pemikiran
kita harus matang dan tajam, hati kita harus lembut selembut salju. Lagi-lagi
keseimbangan sangat di butuhkan dalam ranah yang jauh lebih metafisik seperti
Tuhan. Kita harus memiliki sintesa antara ketajaman analisa Barat ala Einstein
dan para filsuf sebelumnya dengan kearifan berfikir sang Budha di Timur.[1] Karena
sebenarnya disinalah bermula semua kejadian.
Begitupun ketika
kita telah memahami Tuhan, tindakan dan ucapan kita harus sesuai dan seimbang
dengan apa yang telah kita fahami tentang Tuhan. Ketika kita faham bahwa Tuhan
itu ada maka kita harus meng’ada seperti halnya Tuhan ada. Ketika kita tahu dan
faham terhadap tuhan yang kuasa maka kita pun harus berkuasa seperti halnya
Tuhan berkuasa. Tuhan adil kita harus adil seperti halnya Tuhan adil, dan lain
sebagainya.
Einstein
pernah mengatakan bahwa ilmu tanpa iman adalah buta dan iman tanpa imu adalah
pincang. Begitupun dalam hidup, ketika keseimbangan di tinggalkan maka yang
terjadi hanyalah kepincangan dan kebutaan terhadap sesuatu yang tengah
didalami. Mulai dari hal biasa sampai hal yang serius harus selalu meiliki
prinsip keseimbangan.
Terlebih
ketika kita mempelajri sebuah pengetahuan yang sungguh sangat mulia. Sebuah
wawasan yang memiliki tujuan agar kita dapat mencapai sebuah kebenaran yang
mutlak dan selalu berjalan di jalan kebenaran itu. Filsafat. Sebuah usaha
pencapaian anak tangga tertinggi dalam kosmos yang begitu rumit tak terfahami.
Dalam teks
mungkin kita temukan catatan-catatan yang terpendam tanpa pemahaman yang
mendalam dan kritis, hanya sebatas iman yang berperan disana dalam memahami
dengan meng’iya’kan apa yang tercatat. Dengan segenap daya fikir dan rasa yang
kita miliki, teruslah berusaha untuk mencapai titik puncak pemahaman yang kamil
(sempurna), walaupun dengan waktu kita yang terbatas oleh kematian.
Tersingkapnya hijab-hijab tersebut entah kita dapati saat manusia masih
menginjakan kaki di bumi atau mungkin ketika terjadi penciptaan dunia lain, aku
tidak tahu. Namun teruslah berjalan di jalan itu.
Mengutip
catatan dalam sebuah teks. “Katakanlah ‘seandainya lautan menjadi tinta
untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti akan habis lautan itu
sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan
lagi sebanyak itu pula.”[2]
Sejalan dengan keyakinan awal bahwa kekuatan mahadahsyat itu memiliki kekuasaan
yang begitu tinggi dan luas, maka tidak ada salahnya bagi kita untuk terus
berusaha menyingkap segala apa yang ada agar dapa mencapai kesempurnaan itu
walaupun maut menanti.
Jikalau akal
kita telah Tuhan ciptakan dengan setitik kekuatan-Nya, maka mustahil bagi-Nya
untuk takut terhadap ciptaan-Nya jika kita (manusia) gunakan untuk
memikirkan-Nya.[3]